Minggu, 14 September 2014

Pengalamnku: Tidak Senang Belajar Agama

Aku belajar Tajwid di Mutiara Hati, suatu hari Guru Tajwid-nya; yang aku lupa namanya. Datang ke kelas dan ingin mengajar seperti biasa. Tapi, temanku Bila menyeletuk, gini:
"Pak, main game yuk!"
"Iya, Pak." Timpal Salsa.
"Ayo, Pak! Main game ah!" Iffa bilang.
Aku juga ikut menimpali. Memang, saat itu aku paling suka main game pas pelajaran. Namanya juga asyik ya...
Tapi Ghulam bilang; "Nggak, ah, Pak! Namanya juga belajar. Ya... Belajarlah!"
"Iya, masa main mulu. Belajar atuh!" Kata Wisnu.
"Iya, belajar atuh lah!" Celetuk Gilang.
Mayoritas anak cowok bilang belajar. Dan mayoritas anak cewek; termasuk Tasya mintanya bermain. Alasannya: "kan belajar sambil bermain, Pak!"
Aku tahu meminta bermain game setiap kali ada guru datang ke kelas adalah hal yang kekanak-kanakan untuk dilakukan. Tapi, aku tetap melakukannya, anyway.
Akhirnya, kami bermain game yang tidak seru. Untuk sebenarnya, aku cukup kecewa karena game yang dimainkan tidak seru, membosankan, dan hanya sebentar. Entah kenapa, aku juga merasa malu sama anak cowok karena game-nya nggak seru. It really pissing me off, seriously.
Lanjutannya, kami malah belajar Tajwid (sebenarnya nama pelajarannya bukan Tajwid; aku lupa namanya: tapi untuk kata ganti lebih baik aku pilih kata sebagai berikut:
Tajwid.
Kadang, ter-pissing-off-kan adalah option yang baik untuk membuat kita menjadi tambah kuat. I'm serious.

Sekali lagi, cerita tentang tidak senang belajar Agama...

"Ningsih tulis ya." Kata Bu Nur sambil memberikan selembar kertas padaku: kertas tersebut berisi tugas yang akan diberikan kepadaku dan teman-teman.
"Ya, Bu." Jawabku singkat sambil malu-malu; begitulah sikapku kira-kira saat berada di Ruang Guru.
Aku mulai kembali ke kelas dan menuliskan tugas tersebut menggunakan spidol yang aku tidak tahu isinya.
Spidol itu permanen!
Pertama, Anika mengejekku dengan perkataan: "Wayolo, Siti!" Dilanjutkan Ari dan Angel mengolok-olokku dengan cara mereka sendiri-sendiri. Kalau tidak salah, ada orang lain yang mengejekku; tapi, tetap, yang paling kuingat adalah ejekan Anika, Ari, dan Angel.
"Walu, Siti! Dimarahin, lu! Mampus, mampus!" Cemooh Angel.
"Yaaaahhhhh... Siti! Mampus lu Ning, dimarahin Bu Nur, lu!" Kata Ari.
Aku hampir menangis (yang kutahan). Akhirnya, Bu Nur datang dan menanyakan apa yang terjadi:
"Ini ada apa anak-anak malah ribut bukannya ngerjain tugas?!" Jelas Bu Nur (bilang gitu).
Anak-anak masih mengabaikan Bu Nur: aku juga turut prihatin sama Bu Nur karena Bu Nur adalah guru yang terabaikan oleh anak-anak muridnya.
(Kelas masih ramai seperti Pasar.)
Anak-anak (yang nggak semuanya) melaporkan apa yang terjadi kepada Bu Nur dengan nada yang nggak nyelaw. Selon. Tapi sebelumnya aku yang bilang terlebih dahulu ke Bu Nur. Silakan kalau mau bingung.
At the last, aku membersihkan noda permanen dengan minyak kayu putih, seraya Bu Nur menasehati teman-teman:
"Kalian itu maunya cuman ngomong doang. Ningsih itu udah bagus; udah mau berusaha!" Hanya Bu Nur saat itu yang benar-benar perhatian sama aku.
Akhirnya juga, papan tulisnya menjadi bersih kembali ��.
Aku dan Anika ke kantin bareng. Untuk kesekian kalinya, aku memaafkan Anika karena pembullyannya tanpa ia meminta maaf terlebih dahulu. Aku memang sabar. Tapi, hal seperti itu membuatku lebih kuat lagi. Sebagai bukti, sekarang aku sudah tak mempan lagi kalau mau dibully. Begitulah hidupku.

Sekian ceritaku tentang tidak senang belajar Agama, terima kasih sudah membacanya. Luv u.

Siti Cahyaningsih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar