Aku
sedang sakit secara mental. Lebih tepatnya; kurang sehat. Keadaan ini
kadang-kadang kurang membahagiakanku. Aku sering merasa kepalaku terada pusing
dan keras di bagian dahi; dan itu membuatku tak nyaman! Aku juga sering merasa
tidak enak dengan suasana kekenyangan, karena aku sering merasa takut kalau aku
akan gendut dan konsentrasiku menjadi buyar, Sungguh, aku ini anak yang lebay;
jika kamu ingin tahu. Tapi, khusus untuk yang bagian gendut, aku sudah tidak
terlalu mempermasalahkannya lagi; aku bersyukur dengan fakta aku sudah tidak terlalu
mempermasalahkannya lagi. Lagi pula, gendut itu tidak penting.Dengan banyak
teori seperti itu, aku jadi merasa sok bijak. Entah kenapa.
Hari
ini, aku melihat sekilas catatan pribadi temanku. Disana tertulis bahwa aku
sebel dengan temen aku yang suka ngelihat-ngelihat, suka cubit-cubit, kalau
dikasih tahu suka ngeyel, dan lain-lain. Dan karakter itu sangat mirip dengan
aku! Aku jadi khawatir dengan itu dan aku menanyakan pada mereka:
"Itu
tentang aku ya?"
Dan
mereka simply and basically jawab "Nggak, Demi
Allah." "Ini tuh ada yang lain," lanjut mereka lagi.
Aku
balas lagi mereka dengan, "Bohong masuk Neraka, ya?"
"Iya."
Hal
itu melegakanku, tapi Salsa langsung ketawa-ketawa lagi; yang mengganggu
kesenanganku yang sesaat.
Si
(inisial) S bilang, "Tuh, Salsa ketawa-ketawa."
Dan
itu membuatku berprasangka lagi kalau Salsa tahu rahasianya dan menertawakan
tingkahku kepada si A dan S.
Aku
tanya ke Salsa: "Salsa, kamu ketawa kenapa?"
Salsa
menjawab, "Itu karena Amir."
Baiklah—begitulah kira-kira aku
menggambarkan apa yang ada di dalam hatiku.
Memang aku ini anaknya sensitif—begitu pula kata
Om-ku. Aku akan mengurangi kesensitifanku—dan keseriusanku juga. Jadi, aku suka
menganggap orang yang bercanda itu sedang memperlakukanku beneran dengan
kayak gitu. Aku terlalu serius; itu berarti tanda aku kurang santai. Sungguh,
aku sudah jago dalam teori. Tinggal, hanya mempraktekkannya.
Rasa syukur adalah hal yang kubutuhkan saat ini.
Karena, hal itu akan menaikkan moodku secara perlahan. Aku sering
membandingkan orang lain dengan diriku sendiri. Padahal, hal itu sudah jelas
saat aku menanyakan ke Bapak seperti ini:
“Bapak, kenapa orang nggak bisa
dibanding-bandingin?”
“Ya jelas lah, wong tugasnya beda-beda.”
“Jadi, nggak bisa, kalau dia lebih kaya, lebih
banyak memiliki kemampuan daipada si ini berarti dia lebih beruntung?”
“Ya, nggak bisa lah.”
*Flashback ends*
Aku juga suka berkhayal macem-macem; dimana aku
berkhayalnya dengan tidak sengaja. Itulah tanda kalau aku tidak menikmati saat
ini.
Hal lain yang menggangguku adalah fakta bahwa aku
tidak bisa memainkan alat musik. Perasaanku tidak sejalan dengan nada dan
satu-satunya hal yang aku lakukan saat belajar musik adalah belajar hafalan.
Aku kadang suka membanding-bandingkan diri dengan yang bisa alat musik dan itu
adalah hal yang merugikan diriku sendiri. Saat aku memainkan alat musik, yang
kugerakkan adalah nafsuku, bukan perasaanku. Tapi tidak ada gunanya aku
membuang-buang waktu untuk hal yang aku tidak dimudahkan di jalannya. Dan
membanding-bandingkan orang adalah hal yang illegal. Jadi, aku hanya
melakukan sesuatu seperti biasanya.
Aku senang melakukan pekerjaan yang melibatkan
banyak orang. Kata Tante Witrin, perasaan orang kepadaku; apakah dia sebal,
apakah dia suka adalah hal yang penting untukku. Jadi, bekerja dengan banyak
orang lebih mengasyikkanku daripada mendem sendiri di Laboratorium.
Aku
sering merasa tidak enak karena perasaanku tidak sejalan dengan pikiranku. Mengquotes perkataan orang adalah hobiku dan
aku cukup relatable dengan quotes dari si L yaitu, “Berjalan dengan
akal.” Aku sering merasakan dalam hatiku dorongan untuk melakukan hal yang quite aneh-aneh. Seperti, balik lagi ke
sekolah untuk membereskan lipetan mukenaku, atau, balik lagi ke tempat les
untuk salim dengan guru; dan itu tidak masuk akal! Walaupun, aku merasa si L
menyindirku. Aku tetap tidak mempedulikannya. Aku tetap berjalan dengan akalku
(untuk melanjutkan perjalananan) dan mengikuti perkataan orang di jalan seperti
diem, belum, dll. Hal itu yang
membuatku sering menengok ke orang lain—kata-kata itu. Tapi karena perkataan
orang itu, aku menjadi balik ke tempat les dengan raut muka yang hampir
menangis—aku benar-benar menangis. Dan itu menggangguku karena kadang, aku tak
bisa main normal seperti anak-anak lainnya. Walaupun, sekarang, aku
berangsur-angsur menjadi lebih baik lagi. Alhamdulillah.
Hal
tentang prestasi kadang menggangguku sedikit, aku pernah mengkhayal menang
lomba UN se-nasional di Jogja. Padahal, faktanya aku tidak diizinkan belajar ke
Jogja. Khayalan-khayalan tidak sengaja itu sering menggangguku. Self-pride is harmed by me. It is worthless and useless. Padahal
prestasi itu tidak penting. Yang penting itu, Sholeh dan Bahagia. Udah tok-tok itu aja. Begitu kata Bapak yang
menjadi pelindung hidupku.
Nilai
adalah hal yang tidak penting. Tapi, kadang, aku suka mengkhawatirkannya dan
membandingkannya dengan teman-temanku. Sepertinya, aku ini maujadi yang nomor
satu; dimana itu adalah hal yang worthless
sama sekali. Untung, berangsur-angsur, diriku sudah memahami teori yang kubuat
sendri untuk diriku sendiri. Semoga aku lebih mengeri lagi kalau nilai itu
tidak penting. Amin.
Sering terlewat sepintas pikiran bahwa aku ini
pintar—itu sangat menggangguku! Karena pintar itu tidak penting. Pintar adalah
hal duniawi; bukan berarti aku maksud dengan bukan hal-hal akhirati. Dan aku akan mempelajari lagi cara
bagaimana agar aku dapat menata pikiran lagi seperti dulu. Doakan aku supaya
berhasil ya, kawan.
Nggak
dimana-mana, pasti ada orang yang nggak suka sama aku. Mau gimana pun juga. Dan
mereka nggak sukanya terbuka-terbukaan. Tapi itu biasa. Masa Rasul dilempari
kotoran, kita minta disayang-sayang. Lama-lama aku juga terbiasa. Semoga
seiring waktu aku dapat paham sesuatu yang baru.
Begitulah
tentang diriku, mungkin ini terlalu menggaggumu karena penutupan ini sangat
nge-cut. Terima kasih untuk membaca.
Wassalam.