Sabtu, 01 November 2014

My Disease

Aku sedang sakit secara mental. Lebih tepatnya; kurang sehat. Keadaan ini kadang-kadang kurang membahagiakanku. Aku sering merasa kepalaku terada pusing dan keras di bagian dahi; dan itu membuatku tak nyaman! Aku juga sering merasa tidak enak dengan suasana kekenyangan, karena aku sering merasa takut kalau aku akan gendut dan konsentrasiku menjadi buyar, Sungguh, aku ini anak yang lebay; jika kamu ingin tahu. Tapi, khusus untuk yang bagian gendut, aku sudah tidak terlalu mempermasalahkannya lagi; aku bersyukur dengan fakta aku sudah tidak terlalu mempermasalahkannya lagi. Lagi pula, gendut itu tidak penting.Dengan banyak teori seperti itu, aku jadi merasa sok bijak. Entah kenapa.
Hari ini, aku melihat sekilas catatan pribadi temanku. Disana tertulis bahwa aku sebel dengan temen aku yang suka ngelihat-ngelihat, suka cubit-cubit, kalau dikasih tahu suka ngeyel, dan lain-lain. Dan karakter itu sangat mirip dengan aku! Aku jadi khawatir dengan itu dan aku menanyakan pada mereka:
"Itu tentang aku ya?"
Dan mereka simply and basically jawab "Nggak, Demi Allah." "Ini tuh ada yang lain," lanjut mereka lagi.
Aku balas lagi mereka dengan, "Bohong masuk Neraka, ya?"
"Iya."
Hal itu melegakanku, tapi Salsa langsung ketawa-ketawa lagi; yang mengganggu kesenanganku yang sesaat.
Si (inisial) S bilang, "Tuh, Salsa ketawa-ketawa."
Dan itu membuatku berprasangka lagi kalau Salsa tahu rahasianya dan menertawakan tingkahku kepada si A dan S.
Aku tanya ke Salsa: "Salsa, kamu ketawa kenapa?"
Salsa menjawab, "Itu karena Amir."
Baiklah—begitulah kira-kira aku menggambarkan apa yang ada di dalam hatiku.
Memang aku ini anaknya sensitif—begitu pula kata Om-ku. Aku akan mengurangi kesensitifanku—dan keseriusanku juga. Jadi, aku suka menganggap orang yang bercanda itu sedang memperlakukanku beneran dengan kayak gitu. Aku terlalu serius; itu berarti tanda aku kurang santai. Sungguh, aku sudah jago dalam teori. Tinggal, hanya mempraktekkannya.
Rasa syukur adalah hal yang kubutuhkan saat ini. Karena, hal itu akan menaikkan moodku secara perlahan. Aku sering membandingkan orang lain dengan diriku sendiri. Padahal, hal itu sudah jelas saat aku menanyakan ke Bapak seperti ini:
“Bapak, kenapa orang nggak bisa dibanding-bandingin?”
“Ya jelas lah, wong tugasnya beda-beda.”
“Jadi, nggak bisa, kalau dia lebih kaya, lebih banyak memiliki kemampuan daipada si ini berarti dia lebih beruntung?”
“Ya, nggak bisa lah.”
*Flashback ends*
Aku juga suka berkhayal macem-macem; dimana aku berkhayalnya dengan tidak sengaja. Itulah tanda kalau aku tidak menikmati saat ini.
Hal lain yang menggangguku adalah fakta bahwa aku tidak bisa memainkan alat musik. Perasaanku tidak sejalan dengan nada dan satu-satunya hal yang aku lakukan saat belajar musik adalah belajar hafalan. Aku kadang suka membanding-bandingkan diri dengan yang bisa alat musik dan itu adalah hal yang merugikan diriku sendiri. Saat aku memainkan alat musik, yang kugerakkan adalah nafsuku, bukan perasaanku. Tapi tidak ada gunanya aku membuang-buang waktu untuk hal yang aku tidak dimudahkan di jalannya. Dan membanding-bandingkan orang adalah hal yang illegal. Jadi, aku hanya melakukan sesuatu seperti biasanya.
Aku senang melakukan pekerjaan yang melibatkan banyak orang. Kata Tante Witrin, perasaan orang kepadaku; apakah dia sebal, apakah dia suka adalah hal yang penting untukku. Jadi, bekerja dengan banyak orang lebih mengasyikkanku daripada mendem sendiri di Laboratorium.
Aku sering merasa tidak enak karena perasaanku tidak sejalan dengan pikiranku. Mengquotes perkataan orang adalah hobiku dan aku cukup relatable dengan quotes dari si L yaitu, “Berjalan dengan akal.” Aku sering merasakan dalam hatiku dorongan untuk melakukan hal yang quite aneh-aneh. Seperti, balik lagi ke sekolah untuk membereskan lipetan mukenaku, atau, balik lagi ke tempat les untuk salim dengan guru; dan itu tidak masuk akal! Walaupun, aku merasa si L menyindirku. Aku tetap tidak mempedulikannya. Aku tetap berjalan dengan akalku (untuk melanjutkan perjalananan) dan mengikuti perkataan orang di jalan seperti diem, belum, dll. Hal itu yang membuatku sering menengok ke orang lain—kata-kata itu. Tapi karena perkataan orang itu, aku menjadi balik ke tempat les dengan raut muka yang hampir menangis—aku benar-benar menangis. Dan itu menggangguku karena kadang, aku tak bisa main normal seperti anak-anak lainnya. Walaupun, sekarang, aku berangsur-angsur menjadi lebih baik lagi. Alhamdulillah.
Hal tentang prestasi kadang menggangguku sedikit, aku pernah mengkhayal menang lomba UN se-nasional di Jogja. Padahal, faktanya aku tidak diizinkan belajar ke Jogja. Khayalan-khayalan tidak sengaja itu sering menggangguku. Self-pride is harmed by me. It is worthless and useless. Padahal prestasi itu tidak penting. Yang penting itu, Sholeh dan Bahagia. Udah tok-tok itu aja. Begitu kata Bapak yang menjadi pelindung hidupku.
Nilai adalah hal yang tidak penting. Tapi, kadang, aku suka mengkhawatirkannya dan membandingkannya dengan teman-temanku. Sepertinya, aku ini maujadi yang nomor satu; dimana itu adalah hal yang worthless sama sekali. Untung, berangsur-angsur, diriku sudah memahami teori yang kubuat sendri untuk diriku sendiri. Semoga aku lebih mengeri lagi kalau nilai itu tidak penting. Amin.
Sering terlewat sepintas pikiran bahwa aku ini pintar—itu sangat menggangguku! Karena pintar itu tidak penting. Pintar adalah hal duniawi; bukan berarti aku maksud dengan bukan hal-hal akhirati. Dan aku akan mempelajari lagi cara bagaimana agar aku dapat menata pikiran lagi seperti dulu. Doakan aku supaya berhasil ya, kawan.
Nggak dimana-mana, pasti ada orang yang nggak suka sama aku. Mau gimana pun juga. Dan mereka nggak sukanya terbuka-terbukaan. Tapi itu biasa. Masa Rasul dilempari kotoran, kita minta disayang-sayang. Lama-lama aku juga terbiasa. Semoga seiring waktu aku dapat paham sesuatu yang baru.

Begitulah tentang diriku, mungkin ini terlalu menggaggumu karena penutupan ini sangat nge-cut. Terima kasih untuk membaca. Wassalam.

1 komentar: